Melanjutkan cerita perjalanan ke Tumpeng Menoreh, bisa jadi cerita lanjutan. Banyak hal lucu dan konyol, selama perjalanan 3 hari 2 malam.
" Tanjakan Ekstrim Menoreh " |
Penulis yang
awalnya penasaran untuk bergabung dengan Mapstrack, akhirnya terpesona dan
merasa telah menemukan tempat yang tepat. Dari segala usia dan profesi, seolah
tidak ada jarak sama sekali, mengobrol bercanda dengan segala sesuatu yang
awalnya tak terbayangkan.
Di Sabtu pagi
yang cerah, goweser Mapstrack sudah hadir di Alun-Alun Kota Magelang, hampir 200an goweser tampak bersiap-siap.
" Jalan Datar Kota Magelang "
Jalur yang disiapkan oleh Kris" ONE", diluar dugaan penulis, dimulai dari alun-alun ke arah barat, menyisir jalan pinggiran kota Magelang, lurus saja ke simpang Pakelan dan menuju ke Salaman. Ternyata arahnya mengarah ke Purworejo, penulis membayangkan jalan Magelang – Purworejo itu pasti tanjakan yang panjang dan tipis.
Pemanasan ringan, pendakian ringan dimulai dari jembatan Kali Progo, Tempuran. Saya melihat beberapa goweser pemula sudah mulai terseok seok, sebelum Salaman, jalan berbelok ke Ngadiwongso.
" Tetap senyum walau lelah " |
Penulis mulai
menyadari bahwa jalur ini akan melewati sisi Barat Menoreh di kawasan Salaman
yang terkenal dengan tanjakannya yang sadis dan tajam.
Di Ngadiwongso
ini merupakan pitstop pertama, para goweser berkumpul, untuk grouping sekaligus
sarapan pagi. Disinilah Mapstrack berperan dalam memperkenalkan masakan daerah,
Pistop pertama
adalah warung makan Opor Ayam Bu Ning, rasa makanan dengan masakan ala kampung
dan dimasak dengan kayu bakar , akan terasa sangat berbeda.
Kawan-kawan
Goweser sepertinya sedang lahap makan opor ayam Bu Ning, seperti yang dikatakan
oleh Miftah, salah satu peserta, "Ayamnya enak...empuk dan gurih, pokoknya
makyusssssss..."
Setelah sarapan pagi, goweser akan melanjutkan perjalanan menuju Tumpeng Menoreh via Beteng.
" Papan petunjuk larangan " |
"Kenapa
Bu?" penulis bertanya kembali. Kata ibu penjual makanan itu menjelaskan
panjang lebar. "Mas, jalannya tinggi banget, tanjakannya tinggi, sepeda
motor malah tidak bisa naik, bahkan tidak boleh lewat."
“Alamak… ini
gila yang cari rute, motornya saja tidak bisa lewat, gimana cara naiknya,”
pikir penulis.
“Iya bu, tidak
apa-apa kalau kita tidak bisa dorong saja nanti..” jawab penulis lagi.
Perjalanan
dilanjutkan lagi, dengan berbelok ke kanan menuju Beteng.
Sebuah tanjakan
ringan dan tipis mulai terasa ke arah Beteng. Jalan aspal yang mulus dan cuaca
yang sedikit mendung membuat para goweser tidak merasa lelah, tentunya
setelah sarapan pagi mereka menjadi semangat kembali.
Setelah
Ngadiwongso menuju Ngadiretno, bencana mulai muncul, tanjakan dengan kemiringan
20-30 mulai ditemukan. Goweser satu per satu mulai turun dari sepedanya, dan
mengerang mendorong sepedanya. Senyum dan tawa mulai surut dan perlahan
menghilang, digantikan oleh kutukan kesakitan dan kesedihan, serta candaan
sebagai pelipur lara.
Om Wox yang hobby main menanjak berkomentar, "Magelang jalan yang asyik dan bikin
ketagihan,".
" Asyik dan
aduhai itulah bahasa goweser ketika menemukan tanjakan, pantang menyerah,
semakin penasaran dan ingin mencoba lagi," imbuh Om Wox
Ternyata bencana goweser terjadi di desa Ngadiretno, di sini ditemukan jalan menanjak yang tinggi, panjangnya hampir 5-6 km, goweser tertatih-tatih mendorong sepeda.
"Antri menuju tanjakan " |
Kong Amin, salah
satu goweser yang biasa bermain tanjakan, bahkan mengaku tanjakan ke Menoreh
sangat keras dan berat dibandingkan yang dirasakan selama ini di sekitar Bogor,
Jawa Barat.
"Ini
tanjakan gila.. susah naiknya, yang lain lewat, Babinsa, Rawa Gede, Sentul...
tidak ada apa-apa," kata Kong Amin.
" Memanfaatkan jalan sepi " |
Hampir semua goweser turun dari sepedanya dan mendorong di setiap tanjakan. Namun disinilah tampaknya kepuasan batin ditemukan, pemandangan indah di sekitar pegunungan Menoreh, dengan pepohonan hijau yang tinggi menjadi tempat yang cocok untuk berfoto selfie. Kesempatan langka saat mendaki diabadikan sebagai kenangan. Bahkan para goweser memanfaatkan jalan yang bersih sepi untuk beristirahat sambil rebahan di jalan. Hampir jarang dijumpai warga yang mengendarai sepeda motor melalui jalur ini, karena di titik-titik tertentu terdapat rambu larangan sepeda motor untuk melintas. Bahkan hanya 4 roda dengan gardan ganda yang boleh lewat.
“Ups.. kapan ini
akan berakhir, ya, jalan ini sepertinya belum berakhir,” keluh Mama Nay.
Banyaknya tanjakan membuat para goweser merasa perjalanan tidak ada habisnya. Setiap kali saya bertemu orang dan mengajukan pertanyaan, jawabannya selalu mengatakan. "Sudah dekat untuk tiba lagi". Tapi kenyataannya tidak sampai.
" Jajanan pun laris sepanjang jalan " |
Warga di sekitar desa Ngadiretno, juga tampak terkejut, melihat puluhan orang mengayuh sepeda melewati desanya, sesuatu yang jarang terjadi. Menurut informasi, baru pertama kali rombongan ini mengayuh sepeda melintasi kampung mereka.
Hal yang
mengasyikan bagi warga Ngadiretno, para goweser sempat mampir dan jajan di
warung setempat. Meski sempat mencicipi lotek (karedok) di desa Ngadiretno,
lotek dikenal warga paling enak.
Kegembiraan goweser Mapstrack, ternyata masih tampak meski dihadapkan dengan tanjakan yang menanjak tinggi. Ternyata Mapstrack sendiri, merupakan kumpulan goweser cycling (sepeda lipat) yang gila menanjak. Seperti yang dikatakan Kris"ONE" dan Wox, "Ini adalah jalan yang selalu kami cari". ( bersambung.)